lanjutan dari THE BEAUTY OF ENCEK GLODOK: THE SERIES (Part 2) – by Bluerider2000
atau baca dari awal
THE BEAUTY OF ENCEK GLODOK: THE SERIES (Part 3) – Source Link
LOW PBV: DEEP VALUE INVESTING FOR MINIMIZING DOWNSIDE RISKS
Berapa sih nilai sebuah saham seharusnya? Atau bagaimana sih cara menghitung nilai wajar dari sebuah saham? Begitu pertanyaan yang sering diutarakan oleh banyak orang yang baru mulai belajar investasi saham.
Dalam menjawab pertanyaan tersebut kebanyakan value investor, bukan hanya Warren Buffet tapi Benjamin Graham sendiri juga, berpendapat bahwa sebuah saham itu bernilai sebesar nilai saat ini dari seluruh cash flow yang bisa dihasilkan di masa depan (“a stock is worth the value of its future cash flows”).
Dengan kata lain, kebanyakan value investor lebih memberikan perhatian pada nilai saat ini dan masa depan dari uang cash yang bisa dihasilkan dari bisnis, tetapi relatif tidak begitu perhatian dengan nilai asset (atau tepatnya net asset) dari sebuah perusahaan.
Kalau seperti itu, PBV itu gak penting dong? PBV kan bukan atau tidak sama dengan nilai saham yang sebenarnya?
BENAR, SAYA SETUJU SEKALI BAHWA PBV BUKANLAH UKURAN YANG PALING TEPAT UNTUK MENILAI NILAI SAHAM YANG SEBENARNYA (INTRINSIC VALUE) ATAU INSTRINSIK VALUE TIDAK SAMA DENGAN PBV
Tulisan dari sanak sekampoeng ambo berikut ini sangat bagus sakali dan dengan sangat tepat dan cermat sekali menerangkan hal tersebut (bagi yang baca tulisan ini, gue rekomendasikan untuk follow dan membaca baik-baik postingan-postingan salah satu suhu di SB ini).
Berikut link dari tulisan tersebut: https://stockbit.com/post/8763593
Nah kalau PBV bukan lah nilai instrinsik dari sebuah saham, terus untuk apa dong kita bahas tentang itu? Kalau begitu, salah satu basic strategi dari kakdr way yang menyatakan membeli PBV rendah/kurang dari satu (PBV<1) itu salah dan gak guna sama sekali dong?
Eit tunggu dulu, jangan terlalu cepat “jump to conclusion” dong.
Sebelum gue membahas lebih lanjut tentang salah satu basic strategy dari si encek glodok ini dan karena judul di atas ada kata deep value investing perkenankan gue untuk bahas mengenai istilah “value investing” ini dulu, sebagaimana gue janjikan pada tulisan serial part 2 sebelumnya.
Untuk istilah “value investing” ini, lagi-lagi Secara umum sebagian besar GUE SETUJU dengan isi tulisan yang telah ditulis dengan sangat baik sekali ini : https://stockbit.com/post/8580384
Pada intinya, memang tidak benar ada istilah value investing, karena itu berlebihan atau redundant, sebab semua investasi sudah otomatis pasti sudah ada value-nya/memperhatikan valuasi dari asset investasi tersebut. Jadi tidak perlu lagi ada istilah value investing, karena kalau investasi tidak memperhatikan value ya bukan investasi namanya.
Hal yang sama juga berlaku untuk pembedaan growth vs value investing yang sebenarnya juga tidak perlu ada karena dalam menilai suatu bisnis, faktor growth dari bisnis itu juga merupakan bagian integral yang harus diperhitungkan dalam valuasi.
Tetapi, ijinkan gue untuk sedikit berbeda dengan tulisan-tulisan yang link-nya telah gue sebutkan di atas.
Menurut gue, walaupun mungkin benar perbedaan itu salah atau tidak perlu, penyebutan atau lahirnya istilah-istilah tersebut seringkali hanya digunakan/ mungkin diperlukan untuk memperlihatkan perbedaan penekanan aspek apa yang lebih ditekankan dari sebuah konsep/strategi yang dianggap “berbeda” tersebut.
Hal yang sama, menurut gue, juga terjadi pada adanya istilah “deep value investing”, atau istilah-istilah/kategorisasi-kategorisasi yang lainnya. Beberapa investor ataupun academia, menggunakan istilah-istilah ini untuk memperlihatkan pembedaan aspek yang jadi fokus perhatian mereka.
Salah satunya dilakukan oleh Sanjay Bakshi yang pendapatnya dapat dilihat/pernah gue quote di Link ini: https://stockbit.com/post/2150448
Karena pendapatnya panjang dan tulisan ini juga sudah sangat panjang, sengaja tidak gue bahas lebih lanjut ditulisan ini. Intinya sih, dia menjelaskan bahwa ada due type value investing, i.e: Charlie Munger/Philip Fisher type of value investor dan the classic Graham-and-Dodd investor.
Baginya kedua style of value investing itu benar/baik dan strategy keduanya tergolong sebagai “value investing”. Untuk hal ini, gue lebih setuju/mengamini pendapat dari Sanjay Bakshi ini.
Kalau memang ada perbedaan type value investing ini, terus mana yang lebih baik dong? Mana yang sebaiknya diikuti?
Sebagaimana di jelaskan Sanjay di akhir pendapatnya itu, gue berpendapat bahwa keduanya benar dan baik. Buffet dan Schloss adalah bukti keduanya bisa menghasilkan keuntungan yang sama-sama baik dan mengalahkan market dalam jangka panjang.
Menurut gue, hal terpenting bukan pada mana yang baik/benar saja, tapi apakah kedua strategy itu dapat dipahami dengan benar asumsi dan lanjutan logika berpikirnya serta apakah prerequisite dari masing-masing strategi itu bisa dipenuhi bagi orang yang akan mengikutinya.
Karena tulisan ini sedang membahas tentang “the beauty of encek glodok” makanya, sama seperti tulisan part 2, pada tulisan part 3 ini juga gue akan lebih banyak membahas dari sisi “deep value investing” dimana low PBV (PBV< 1) merupakan salah satu poin utama dari stategi ini.
Pertanyaan utamanya adalah kalau nilai saham itu sebenarnya adalah ditentukan oleh cash flow yang dapat dihasilkan atau earning powernya, kenapa PBV juga perlu diperhatikan atau bisa dijadikan salah satu strategi yang baik? SALAH SATU YA, BUKAN SATU-SATUNYA!
Bagaimana jawaban dan penjelasan dari pertanyaan itu? Jawabannya sekilas sebenarnya sudah diutarakan oleh Sanjay Bakshi pada link di atas. Tapi untuk lebih detailnya, Please stay tuned di sini untuk lanjutan tulisan ini ya.
Tabik
LOW PBV: DEEP VALUE INVESTING FOR MINIMIZING DOWNSIDE RISKS (A Sequel)
Pada akhir tulisan terdahulu, https://stockbit.com/post/8930014, telah diberikan sebuah pertanyaan utama yang akan dibahas untuk tulisan lanjutan part 3 dari serial tulisan “the beauty of encek glodok ini”.
Pertanyaanya adalah: “kalau nilai saham itu sebenarnya adalah ditentukan oleh cash flow yang dapat dihasilkan atau earning powernya, kenapa PBV juga perlu diperhatikan atau bisa dijadikan salah satu strategi yang baik? “
Penilaian sebuah saham atau bisnis berdasarkan nilai dari present value atas aliran uang kas yang bisa dihasilkan oleh sebuah usaha tersebut memang sangat lah benar dan logis. Kita bisa menilainya melalui uang kas yang bisa diperoleh dari dividen yang dibagikan atau nilai kas bersih yang bisa dihasilkan oleh perusahaan tersebut.
Secara logika saja, memangnya apa bagusnya membeli sekumpulan asset yang tidak akan menghasilkan pendapatan atau aliran uang kas di masa depan? Atau apakah bagus memiliki sebuah restoran yang hanya melayani sedikit pembeli atau memiliki sebuah Gudang yang didalamnya isinya hanya barang-barang yang tidak laku dijual?
Bagi sebagian besar investor, tentunya bisnis tersebut tidak berguna dan tidak menarik untuk dimiliki. Jika ada orang yang melakukan pembelian seperti itu, orang tersebut pastilah dianggap oleh kebanyakan orang sebagai tidak ngerti bisnis dan pengusaha yang buruk atau malah sebaiknya diduga memiliki informasi yang tidak diketahui atau dipahami oleh kebanyakan orang.
Pada kenyataanya, mungkin saja malah orang tersebut hanya mencoba membeli sekumpulan asset bisnis dengan harga yang sangat-sangat murah dari nilai asset yang sebenarnya. Misalnya, membeli kapal tangker dengan harga perahu cadik (outrigger boat).
Kalau begitu, apa alasan investor seperti ini lebih memilih untuk membeli perusahaan berdasarkan nilai asset bersihnya dan bukannya berdasarkan kemampuan perusahaan tersebut menghasilkan pendapatan/profitnya (earning power)?
Sebenarnya, terdapat berbagai alasan kenapa hal itu lebih dipilih untuk dilakukan. Pertama, dan paling utama, adalah karena “kecantikkannya” yang berasal dari kesederhanaan dan kemudahannya.
Secara teoritis pilihan untuk menilai perusahaan dengan earning power atau aliran uang kas yang dapat dihasilkan adalah SANGAT BENAR DAN VALID. Dan seharusnya memang seperti itu cara yang benar.
Tapi sayangnya, hal itu seringkali sangat sulit untuk dilakukan untuk kebanyakan usaha. Cara perhitungan seperti ini, seperti metode Discounted Cash Flow (DCF) seringkali hasilnya sangat sensitif terhadap asumsi yang digunakan. Perbedaan sedikit saja dari asumsi yang digunakan, hasilnya akan sangat berbeda. Terdapat banyak sekali ketidakpastian yang besar dalam sebuah bisnis di masa depan, yang membuat hasil estimasi kemungkinan besar berbeda dengan realitasnya nanti di masa depan.
Kedua, karena sulitnya melakukan perkiraan terhadap earning power atau cashflow itu, makanya banyak investor seringkali menggunakan perhitungan/perkiraan yang lebih sederhana dengan memakai rasio-rasio sederhana, seperti P/E, Dividen Yield, dan PBV.
Untuk yang terakhir disebutkan ini, Walter Schloss berpendapat bahwa dibandingkan dengan pendapatan, net assets dari sebuah bisnis biasanya lebih tidak gampang berubah, sehingga lebih mudah untuk diprediksi.
Ketiga, berdasarkan poin kedua tersebut, strategi memilih saham berdasarkan diskon yang besar dari net asset perusahaan (seperti net-net atau lowest PBV) menyediakan down-side protection yang besar. Jadi, strategi ini, sama seperti tulisan di part 2, lebih bersifat defensive.
Membeli perusahaan yang bertumbuh dengan baik, MEMANG SANGAT BAIK DAN LEBIH DIANJURKAN (ASAL HARGANYA JUGA TEPAT), tetapi biasanya itu ada resiko yang juga tidak kalah besar. Beberapa investor berpendapat “growth is risky”, ada resiko yang harus dibayar dari growth yang tinggi tersebut karena biasanya harga sahamnya juga tidak murah.
Sebaliknya, valuasi yang rendah, seperti dalam bentuk PBV yang rendah, biasanya itu juga berarti mencerminkan ekspektasi yang rendah dari kinerja perusahaan. Akibatnya, kalau ada sedikit saja perubahaan perbaikkan dari kinerja perusahaan tersebut, harga di pasar akan naik dengan lebih tinggi karena hal tersebut diluar ekspektasi sebelumnya.
Sebaliknya, perusahaan yang bagus tapi harganya sudah sangat tinggi, penurunan sedikit saja dari kinerjanya dibandingkan ekspektasi, harganya akan sangat jatuh dan langsung dihukum pasar.
Hal utama yang dicari dari berinvestasi di saham adalah cari perusahaan yang “salah harga”, bukan sekedar perusahaan bagus. Perusahaan yang bagus, tapi kalau harganya sudah sesuai atau “priced-in” ya cuannya gak akan besar juga.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Howard Marks berikut ini: “Investing is not a matter of what you buy, it’s what you pay. Investing is not a matter of buying good things, but buying things well.”
Hal ini misalnya, bisa dilihat pada kasus-kasus perusahaan cyclical, seperti perusahaan penghasil coal, cpo, oil, etc dan perusahaan-perusahaan turn around lainnya. Itu kenapa, LKH dan banyak suhu-suhu investor di sini suka dengan perusahaan-perusahaan cyclical di banding perusahaan yang telah mapan macam UNVR. Perusahaan seperti ini, lebih dinamis dan cuan nya besar (kalau elu ngerti mainnya tentu saja) .
Keempat, Aset nyata (tangible assets) dari kebanyakan bisnis adalah hal yang penting untuk mampu menghasilkan pendapatan/profit. Sayangnya, poin keempat ini seringkali juga dilupakan oleh banyak investor yang terlalu fokus pada pendapatan/earning power.
Karena tulisan gue udah terlalu panjang, dan penjelasan dari poin keempat ini juga akan sangat panjang dan sulit. Agar gue juga gak salah menerangkan, baiknya gue persilahkan temen-temen baca sendiri tentang ini dari article yang jadi rujukan utama tulisan ini.
Berikut adalah contoh artikel yang menjelaskan kenapa perhatian terhadap low PBV juga penting untuk dilakukan: The Importance of Price to Book Value
Di atas telah dijelaskan alasan-alasan kenapa book value atau PBV itu penting. Dari penjelasan-penjelasan tersebut, mungkin elu langsung berpikir, wah bagus banget nih kalau beli saham pake PBV rendah (PBV<1) dan akan bagus kalau digabungin sama tulisan part 2, beli aja yang banyak saham-saham yang secara PBV murah.
Eit, sekali lagi, jangan langsung berpikir begitu aja. Hal yang perlu diingat adalah, tidak semua saham dengan PBV rendah itu baik untuk dibeli, karena tidak semua isi dari Asset itu sama. Perusahaan PBV rendah tetapi dengan nilai cash lebih banyak dan tidak memiliki hutang, pastinya lebih bernilai dibandingkan dengan perusahaan dengan PBV sama tapi uang kas nya sedikit dan utangnya banyak.
Karena itu, basic strategy dari kakdr way gak cuma pilih saham-saham PBV rendah dan beli sebanyak-banyaknya. Tapi ada juga strategi-strategi lainnya dan itu merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Apa aja strategy yang lainnya itu dan bagaimana penjelasan “kecantikkan” dari masing-masing basic strategy itu? Ditunggu ya tulisan gue berikutnya… Stay Tuned. Tabik
Baca lanjutannya di THE BEAUTY OF ENCEK GLODOK: THE SERIES (Part 4) – by Bluerider2000
Be the first to comment